Rabu, 11 Agustus 2010

Ikan Lanset: Nenek Moyang Manusia dan Hewan Bertulang Belakang

Apa itu ikan lanset?

Ikan lanset, walaupun pada namanya digunakan kata “ikan”, bukanlah ikan seperti yang dipelihara maupun dikonsumsi. Ikan yang biasa kita kenal merupakan suatu kelompok mahluk hidup yang termasuk dalam kelompok mahluk hidup bertulang-belakang (vertebrata). Tetapi ikan lanset bukan termasuk dalam kelompok vertebrata maupun invertebrata (mahluk tanpa tulang belakang) sehingga sering disebut sebagai “mahluk perbatasan” atau kyoukai doubutsu dalam bahasa Jepang. Ikan lanset memiliki kelompok tersendiri, yang disebut sebagai Cephalochordata. Kelompok ikan yang termasuk ke dalam Cephalochordata ini termasuk dalam kelompok hewan yang disebut Chordata, yaitu kelompok hewan yang memiliki notochorda, yaitu suatu struktur berbentuk pipa yang terdapat di daerah punggung pada saat pembentukan embrio awal. Yang termasuk di dalam chordata adalah ikan lanset (cephalochordata), nanas laut (urochordata), dan hewan bertulang-belakang (vertebrata). Ikan lanset dan nanas laut dikenal sebagai “Chordata yang bukan vertebrata”.

Ikan lanset ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1774 oleh P. S. Pallas, seorang ilmuwan dari Jerman. Namun dalam laporannya Pallas mengklasifikasikannya sebagai sejenis siput (Yasui & Kubokawa, 2005). Oleh sebab itulah nama Jepang dari mahluk ini adalah “namekuji-uo“, yang berarti ikan siput. Pada tahun 1834 O. G. Costa mengelompokan salah satu kerabat dari ikan lanset ini sebagai suatu jenis ikan baru dengan nama genus Branchiostoma, yang menjadi salah satu penyebab mengapa nama mahluk ini disebut sebagai “ikan” dalam bahasa Indonesia. Baru pada tahun 1836, Yarrell mengelompokkannya sebagai mahluk yang dekat dengan ikan-ikan agnatha (”tanpa-rahang”), yang tidak memiliki rahang, tanpa mata, tanpa sirip perut dan dada. Sebagai catatan, ikan-ikan agnatha adalah kelompok ikan yang dianggap sebagai mahluk bertulang-belakang yang “paling kuno”. Klasifikasi Yarrell ini pada jamannya bisa dianggap paling maju, karena hanya dengan petunjuk morfologis (bentuk luar tubuh) yang relatif minim, mampu menempatkan ikan lanset pada posisi basal dari kelompok mahluk bertulang-belakang. Nama ilmiah yang diperkenalkan oleh Yarrell, Amphioxus lanceolatus, yang berarti “tombak kecil (lanceolatus) bermata di dua ujung (amphioxus)”, yang dipakai dalam bahasa inggris sebagai nama umum (amphoxus / lancelet). Pada tahun 1867 A. Kowalevsky di menempatkan ikan lanset dalam posisi sekarang, yaitu sebagai Cephalochordata, dan mengajukan pendapat bahwa ikan lanset adalah kerabat terdekat mahluk bertulang belakang. Klasifikasi modern ikan lanset, terutama yang menggunakan marker molekuler seperti DNA mitokondria dan nukleus (inti sel), juga menempatkannya dalam kelompok Chordata.

Gbr. 1. Ikan lanset yang diawetkan. Foto diambil dari homepage Universitas Susquehanna.

Ikan lanset diperkirakan sudah berada di bumi ini sejak lebih dari 500 juta tahun yang lalu, yaitu pada jaman Cambrian. Fosil ikan lanset banyak ditemukan dan salah satunya yang terkenal adalah fosil Pikaia gracilens yang ditemukan di tempat pengambilan fosil sangat purba Burgess Shale di Kanada. Fosil hewan serupa juga ditemukan di Haikou, China (Shu et al., 1999).

Kelompok ikan lanset diperkirakan terdiri dari 3 genera (Epigonichthys, Branchiostoma, dan Asymmetron; Kon et al., 2007), dan sekitar 50 spesies. Bentuk fisik dan pola hidup kedua genera ini sangat mirip. Namun, hasil penelitian terbaru dengan menggunakan DNA mitokondria sebagai marker molekuler (penjelasan tentang marker molekuler dapat dilihat di bawah) menunjukkan bahwa ikan lanset, walaupun bentuk dan pola hidupnya sangat mirip, terdiri dari berbagai kelompok yang secara genetik sangat berbeda dan terpisah jauh (Kon et al., 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ikan lanset tetap mempertahankan bentuk luar tubuhnya yang seperti tusuk gigi walaupun telah menempuh evolusi dalam waktu yang sangat lama, atau minimal sama panjangnya dengan berbagai hewan lain. Padahal, seperti yang kita ketahui, hewan-hewan lainnya seperti ikan bersirip (Actinopteygii), hewan menyusui (Mammalia), dan serangga (Insecta) memvariasikan bentuk tubuh hingga sangat beraneka ragam.

Gbr. 2. Diagram yang menggambar- kan struktur tubuh ikan lanset. Gambar diambil dari homepage Universitas Winnipeg.

Klasifikasi Deuterostomia: suatu perjalanan mencari asal-usul hewan bertulang-belakang

Untuk mengetahui mengapa ikan lanset dianggap sebagai mahluk hidup yang penting dalam penelitian biologi, kita perlu mengetahui posisinya dalam pengelompokan atau klasifikasi hewan yang benar. Klasifikasi yang benar, yang didasari atas hubungan kekerabatan / filogeni, akan memberikan gambaran evolusi yang jelas, yang nantinya dapat digunakan untuk menginferensi berbagai proses evolusi yang terjadi pada ikan lanset dan kerabatnya, termasuk hewan bertulang-belakang dan manusia.

1. Apa itu klasifikasi dan filogeni?

Seperti yang kita ketahui, mahluk hidup dikelompokan dengan mahluk hidup yang memiliki ciri-ciri / keunikan yang sama. Misalnya, kucing dikelompokan bersama kucing, yang disebut sebagai spesies kucing. Lalu, kelompok kucing ini dikelompokan lagi bersama dengan kelompok anjing dan kelompok beruang yang kemudian disebut sebagai ordo caniformia, atau kelompok hewan pemakan daging. Proses pengelompokan ini disebut sebagai “klasifikasi”. Sedangkan, hubungan filogenetik / kekerabatan adalah hubungan antara suatu mahluk hidup dengan orang-tuanya, seperti hubungan silsilah. Jika kita runut silsilah hingga ke masa silam, kita bisa mencapai nenek-moyang suatu mahluk hidup. Jika kita merunut sedemikian jauh ke masa silam, kita mungkin bisa merunut seluruh mahluk hidup / kelompok besar mahluk hidup (seperti berbagai jenis hewan), dan mencapai / menginferensi nenek moyang-nya. Hubungan antara klasifikasi dan filogenetik akan dijelaskan dibawah.

Pengklasifikasian mahluk hidup umumnya menggunakan beberapa parameter yang dijadikan sebagai “penanda / ciri-ciri” kemiripan anggota dalam kelompok tersebut. Penanda tersebut umumnya berupa ciri-ciri yang dapat dilihat dari luar, misalnya bentuk tubuh / morfologi, fisiologi, tingkah laku, habitat, dll. Misalnya, dalam kelompok kucing kita melihat adanya taring, kuku yang bisa ditarik masuk, suara mengeong, dsb. Dalam biologi kontemporer, seringkali untaian DNA juga dipakai sebagai penanda pengklasifikasian. Dalam setiap mahluk hidup pasti terdapat DNA, yang merupakan zat pembawa keturunan. (Gen adalah bagian dari untaian DNA yang mengandung informasi keturunan, dan kumpulan gen minimal yang dibutuhkan oleh satu mahluk hidup untuk hidup normal disebut genom). Karena setiap mahluk hidup itu berasal dari nenek-moyang yang sama, seringkali banyak dijumpai gen yang sama pada mahluk yang berbeda. Misalnya, gen pax6 ditemukan pada lalat, tikus, dan manusia, dan bahkan mempunyai fungsi yang sama dalam pembentukan mata. Walaupun nenek-moyangnya sama dan gen yang sama digunakan, akan tetapi karena waktu berevolusi-nya sudah sangat lama / terpisah jauh, tetap saja akan terdapat mutasi-mutasi dalam gen tersebut (khususnya pada bagian yang tidak krusial) yang menyebabkan untaian DNA-nya berbeda. Perbandingan gen-gen inilah yang kemudian digunakan sebagai penanda dalam pengklasifikasian mahluk hidup (penanda seperti ini disebut sebagai marker molekuler).

Contoh 1:

Pada contoh 1, kita dapat melihat jika untaian DNA yang dimiliki oleh mahluk A dan D lebih dekat daripada mahluk B dan C, kita bisa mengelompokan (mengklasifikasikan) A dan D dalam satu kelompok, dan B dan C dalam satu kelompok. Walaupun anggota dalam satu kelompok (mis. A dan D) memiliki perbedaan di beberapa asam nukleat (untuk A dan D: mis. pada kolom ke 5, atau untuk B dan C, pada kolom 5, 22, 25), namun sebagian besar dari untaian asam nukleat-nya mirip, sehingga dapat dikelompokan dalam suatu kelompok yang sama. Lalu, dari pengelompokan ini pun, berdasarkan jumlah kemiripan dan perbedaan asam nukleat dalam untaian DNA yang kita bandingkan, kita dapat menginferensi hubungan kekerabatan / filogeni dari mahluk-mahluk yang diperbandingkan.

Contoh 2:


Pada contoh 2, dari jumlah perubahan asam nukleat (komponen / mata rantai untaian DNA) yang terjadi, kita apat menginferensi, jika mahluk B dan C berhubungan kekerabatan lebih dekat dibandingkan dengan A. Maka dapat diperkirakan bahwa hubungan filogenetiknya adalah sebagai berikut:

Dari filogeni (diagram hubungan filogenetik / kekerabatan) ini, bisa disimpulkan beberapa hal:

  1. A, B, dan C berasal dari satu nenek-moyang (yang mungkin sudah punah), yaitu X
  2. B dan C berasal dari satu nenek-moyang, Y
  3. Nenek moyang A lebih dulu “berpisah” dari X dan Y, dan berevolusi menjadi satu kelompok tersendiri
  4. Secara klasifikasi, kita dapat mengatakan bahwa B-C berada dalam satu kelompok klasifikasi, dan A merupakan kelompok terpisah.

Jika kita menggunakan lebih banyak sampel dalam analisis filogenetik kita (kali ini, misalnya, contoh-contoh hewan dalam Contoh 1 dan Contoh 2 diatas), akan didapatkan sebuah “pohon” filogenetik seperti berikut:

Dari hasil ini kita dapat menginferensi, pengelompokan mahluk hidup / hubungan kekerabatan yang seperti berikut:

  1. Ada dua kelompok besar, yaitu kelompok I yang terdiri dari E, F, dan G (latar belakang merah) dan kelompok II yang terdiri dari A, B, C, dan D (latar belakang biru).
  2. Dalam kelompok I, F dan G berkerabat dekat (hubungan “sister relationship”). E adalah kerabat dekat dari kelompok F+G.
  3. Kelompok II terbagi lagi menjadi 2 kelompok, yaitu A+D dan B+C.
  4. Kelompok I berasal dari satu nenek-moyang “putatif” (X), dan kelompok II berasal dari (Y)
  5. X dan Y berasal dari satu nenek moyang awal (O)

Dari contoh-contoh ini dapat dilihat bahwa hubungan kekerabatan / hubungan filogenetik dapat memberikan “dasar” klasifikasi mahluk hidup yang lebih tepat, sesuai dengan kemiripannya baik secara genetik (lewat DNA dan penanda molekuler lainnya) maupun secara morfologis. Pengklasifikasian mahluk hidup yang disesuaikan dengan hubungan filogenetik ini, yang disebut sebagai “klasifikasi natural” (versus klasifikasi artifisial yang umumnya bersifat anthropocentric) dikenal juga dengan bidang ilmu Kladistika atau Sistematika. Hubungan filogenetik menunjukan hubungan kekerabatan, dan hubungan kekerabatan menunjukan pula hubungan evolusi, maka pengklasifikasian yang berdasarkan hubungan filogenetik ini lazim dianggap lebih “benar”, karena mampu menjelaskan evolusi berbagai karakter, sifat, dan ciri-ciri suatu mahluk hidup, serta menunjukkan “kedekatan” suatu mahluk hidup yang satu dengan lainnya sesuai dengan hubungannya di alam.

Sebagai tambahan, hubungan kekerabatan yang diinferensi dari penanda molekuler, ataupun gabungan antara penanda molekuler dan ciri-ciri morfologis dianggap jauh lebih tepat dan lebih “natural / alamiah” dibandingkan dengan yang diinferensi hanya dari sifat-sifat morfologis dan kasat-mata lainnya. Umumnya para ilmuwan menamakan hubungan kekerabatan lewat sifat morfologis sebagai “pola pandang tradisional”. (Diskusi yang lebih detil mengenai filogenetik dan inferensinya, serta perbandingan secara morfologis dan molekuler, akan didiskusikan pada kesempatan lain.)

2. Pengelompokan Hewan

Jika kita ingat pelajaran biologi SMA (khususnya kurikulum 1994), kita belajar bahwa mahluk hidup itu terbagi dalam beberapa kelompok besar, yang disebut sebagai “kerajaan” atau “kingdom” (atau regnum dalam bahasa latin). Misalnya, semua tumbuhan di muka bumi dikelompokan dalam satu kerajaan yang disebut sebagai “Regnum: Plantae”, dan semua hewan, baik yang bersel-satu maupun yang multi-selular, dikelompokan dalam Kerajaan Hewan, atau Regnum: Animalia. Kemudian, Regnum Animalia ini dibagi-bagi lagi menjadi sekitar 30 kelompok besar hewan, yang dibagi berdasarkan “bodyplan / bauplane“. Kelompok besar ini disebut “phylum” (jamak: phyla).

Gbr. 3. Hubungan kekerabatan / filogeni hewan. (A) Diagram pohon kekerabatan berdasarkan morfologi dan embriologi yang merupakan pola pandang “klasik”; (B) Diagram kekerabatan berdasarkan penanda molekuler. Pola ini dianggap sebagai pola pandang “modern”. Gambar diambil dari Adoutte et al., 2000.

Pengelompokan kedalam phyla ini, sesuai dengan jalannya waktu, sudah berubah banyak. Pada biologi klasik, kita mengenal pengelompokan hewan berdasarkan rongga tubuh yang disebut “coelom”. Ketigapuluh-sekian phyla hewan di kelompokan menjadi tiga kelompok besar, yaitu Acoelomata (”tidak berongga”), Pseudocoelomata (”berongga semu”), dan Coelomata (”berongga). Anggapan para ilmuwan dahulu, evolusi mahluk hidup ini secara garis besar bisa dilihat dari terbentuknya coelom saat perkembangan embrio: yang tak-berongga itu kuno, lalu terjadi sedikit perubahan dan timbul mahluk berongga, dan terakhir barulah timbul hewan berongga-tubuh sejati. Anggapan ini sesuai dengan pandangan para ahli jaman dahulu yang cenderung memasukan filsafat “supernatural / keagamaan” kedalam ilmu pengetahuan alam, yaitu pola pikir “scala naturae” (tangga alam), dimana mahluk hidup itu berevolusi / berubah sesuai dengan tingkat kerumitan strukturnya, dari yang sederhana perlahan-lahan menjadi yang rumit.

Namun, berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan berbagai marker molekuler, dan penelitian ulang sifat-sifat morfologis, saat ini para ilmuwan menerima pengelompokan hewan yang baru. Pengelompokan yang baru ini menganggap kalau sifat pembentukan coelom itu tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk mengelompokan ketigapuluh sekian phyla hewan. Banyak hewan-hewan yang dianggap primitif malah memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan hewan yang dianggap sangat modern (Adoutte et al., 2000; Halanych, 2004; Philippe et al., 2005; 2007).

Misalnya, pada Gambar 3B, bisa kita lihat bahwa pengelompokan hewan menjadi demikian: Hewan dibagi menjadi dua, non-bilaterian [(3 kelompok dalam kotak kuning; Ubur-ubur sisir (Ctenophora), Ubur-ubur (Cnidaria), dan hewan karang (Porifera)] dan Bilateria (hewan yang simetris sisi kiri dan kanannya). Hewan Bilateria ini terbagi lagi menjadi 2 kelompok berdasarkan pola perkembangan embrionya: Deuterostomia (termasuk di dalamnya: vertebrata), dan Protostomia. Protostomia kemudian terbagi lagi menjadi 2 kelompok besar, Lophotrochozoa dan Ecdysozoa.

Jika diperhatikan dan dibandingkan dengan teliti Gambar 3A dan 3B, dapat ditemukan bahwa banyak hewan-hewan yang sebelumnya dianggap sebagai acoelomata pada 3A akan tetapi masuk ke dalam Lophotrochozoa pada 3B, dan hewan-hewan pseudocoelomata pada 3A, pada diagram 3B ada sebagian yang masuk ke Lophotrochozoa, dan ada sebagian yang masuk ke Ecdysozoa (Aguinaldo et al., 1997; Halanych et al., 1995). Pengelompokan yang baru ini, yang umumnya berdasarkan hasil studi molekuler, ternyata mampu menjelaskan evolusi berbagai sifat-sifat dan karakter yang ditemukan dalam berbagai phyla hewan. 3. Pengelompokan Deuterostomia Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hewan bertubuh simetri bilateral (Bilateria) terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu Deuterostomia dan Protostomia. Pembagian ini didasarkan pada pola pembentukan embrio di awal perkembangan janin. Pertama-tama, mari kita diskusikan dahulu apa yang dimaksud dari penamaan “deuterostomia”. Kata “deuterostomia” ini berasal dari bahasa yunani yang berarti “mulut belakangan”. Istilah ini berasal dari perilaku sel pada saat pembentukan embrio. Pada masa-masa awal pembentukan embrio, ketika si janin masih terdiri dari beberapa-ratus sel dan berbentuk bola, di salah satu sisi embrio akan timbul suatu tonjolan dan belahan. Dari belahan ini, yang membentuk lubang, sebagian sel akan migrasi ke dalam bola dan membentuk lapisan “dalam” tubuh. Akibat dari proses ini akan terbentuk rongga tubuh (coelom), yang disebutkan di awal artikel ini. Pada hewan deuterostom, “lubang” tempat masuk dan migrasi-nya sel-sel ini (yang disebut blastopore) nantinya akan berkembang dan berfungsi menjadi anus (dan rongga nya menjadi rongga dalam tubuh / saluran pencernaan). Mulut akan terbentuk “belakangan”, yaitu ketika pembentukan rongga berlanjut hingga terbentulah lubang kedua di sisi lawan dari lubang blastopore ini. Itulah sebabnya hewan-hewan yang memiliki pola perkembangan embrio awal seperti ini, dinamakan “mulut belakangan”, karena pertama-tama yang terbentuk adalah anus, dan mulut terbentuk kemudian atau “belakangan”. Sebaliknya, pada hewan Protostomia, lubang blastopore justru akan menjadi mulut, dan lubang di sisi berlawanan yang terbentuk belakangan akan menjadi anus (Gambar 4).

Gbr. 4. Perbedaan pola pembentukan embrio awal, antara Deuterostomia dan Protostomia. Gambar diambil dari www.palaeos.com.

Hewan deuterostomia ini terdiri dari beberapa phyla hewan. Beberapa hewan yang secara tradisional “dianggap” sebagai deuterostomia, namun setelah diteliti dengan mempergunakan marker molekular, ternyata jelas bukan merupakan deuterostomia, tapi lebih berkerabat dekat dengan hewan-hewan protostomia (mis. Halanych, 2004). Saat ini, kelompok hewan yang dikelompokan sebagai deuterostomia adalah: Xenoturbellida, Echinodermata, Hemichordata, Urochordata, Cephalochordata, dan Vertebrata (Craniata) (Gambar 5).

Gbr. 5. Foto contoh-contoh mahluk yang termasuk dalam kelompok Deuterostomia. Gambar diambil dari homepage Universitas Kalifornia di Berkeley.

Hubungan antar anggota di dalam Deuterostomia, sesuai dengan bertambahnya data-data dari pelbagai hasil penelitian, juga telah berubah jauh. Salah-satu perubahan yang paling awal dan nyata adalah posisi Hemichordata (Gambar 6B) dan ditempatkannya Xenoturbellida (Gambar 6A) sebagai anggota Deuterostomia. Sebelumnya, Hemichordata dianggap sebagai hewan chordata primitif. Hewan chordata adalah hewan yang pada sebagian atau keseluruhan masa hidupnya memiliki struktur pipa pada bagian punggungnya yang disebut notochorda. Pada hewan bertulang belakang, notochorda hanya terlihat pada masa perkembangan janin, karena selanjutnya struktur ini akan berdiferensiasi, dan digantikan oleh tulang belakang. Pada Hemichordata, dahulu diperkirakan ada struktur notochorda primitif yang disebut sebagai stomochorda (Gee, 1996). Namun penelitian selanjutnya menemukan bahwa stomochorda bukan notochorda, dan bahwa hewan-hewan Hemichordata berkerabat erat dengan hewan-hewan berkulit duri (Echinodermata) seperti landak laut dan bintang laut, membentuk kelompok yang disebut Ambulacraria (Halanych, 2004).

Gbr. 6. (A) Xenoturbella bocki; (B) Salah satu species Hemichordata, “acorn worm”. (A) diambil dari http://www.kanshin.com, dan (B) dari Wikipedia.

Xenoturbellida adalah salah satu phylum mahluk hidup yang baru dibentuk, sesuai dari hasil penelitian kelompok peneliti yang dipimpin oleh Max Telford di Inggris (Bourlat et al., 2003; Bourlat et al., 2006). Sejarah pengelompokan Xenoturbellida (akhirnya) ke dalam Deuterostomia sangat menarik, karena kita bisa melihat juga “akibat” dari kecerobohan dan kontaminasi saat percobaan. Xenoturbellida dikenal dari 2 species, yaitu Xenoturbella bocki dan westbladi, yang bentuk tubuhnya menyerupai cacing yang hidup di laut. Beberapa peneliti kemudian mengajukan hipotesis hubungan kekerabatan dengan Hemichordata dan Echinodermata, sesuai dengan kemiripan struktur jaringan saraf dan struktur epidermal, dan beberapa peneliti mengajukan kedekatannya dengan cacing pipih, sesuai dengan ketidakberadaan coelom. (Bourlat et al., 2003). Pada tahun 1997, dua laporan berdasarkan studi molekuler dan ekologis menemukan bahwa Xenoturbella adalah sejenis hewan bertubuh-lunak atau Mollusca (Noren et al., 1997; Israelsson et al., 1997; Ueshima, HP. Univ. Tokyo).

Namun kemudian diketahui ternyata Xenoturbella adalah hewan pemangsa embrio / telur hewan bertubuh-lunak, dan sampel yang dipergunakan dalam kedua studi sebelumnya, baik molekular maupun sampel embrio, adalah sampel yang terkontaminasi hewan moluska yang dimangsa oleh Xenoturbella. Penelitian lanjutan dengan menggunakan salahsatu marker pendek, SSU DNA (Bourlat et al., 2003), dan dengan beberapa gen multipel yang digabung menjadi suatu marker molekuler berukuran panjang (Bourlat et al., 2006) menempatkan Xenoturbella pada posisi filogenetik yang berdekatan dengan Ambulacraria (Echinodermata + Hemichordata), dan menjadikannya sebagai satu phylum baru yang dinamakan Xenoturbellida, yang menjadi kerabat dekat (sister group) dari Ambulacraria. Namun demikian, pelbagai penelitian yang dilakukan tidak mengubah penempatan tiga dari enam kelompok dalam Deuterostomia: Urochordata (nanas laut), Cephalochordata (ikan lanset), dan Vertebrata (tiga lainnya adalah Xenoturbellida, Echinodermata dan Hemichordata). Hanya saja, hubungan antara ketiganya tidak jelas dan tidak pasti. Penyebab ketidak-pastian hubungan ini disebabkan karena seringkali dalam sejumlah penelitian tersebut, tidak diikutsertakannya banyak sampel hewan penting (ukuran sampel takson terlalu kecil), terlalu kecilnya ukuran marker sehingga tidak mampu “mengorek” masa lalu yang terlalu jauh, atau karena adanya “noise” yang terlalu banyak dalam data-data sikuens / untaian marker DNA yang digunakan (Lartillot dan Phillipe, 2008). Kemungkinan lain adalah terjadinya “ledakan” evolusi di masa lalu (mis. Ledakan Cambrian / Cambrian explosion), dimana pelbagai jenis phylum mahluk hidup muncul dalam waktu yang secara geologis relatif singkat (Conway-Morris, 2000), sehingga marker yang pendek tidak dapat sehingga marker yang pendek tidak bisa menghasilkan pohon filogenetik yang terpecahkan (memilki resolusi yang baik / resolved), yang didukung oleh nilai probabilistik yang cukup untuk dianggap signifikan. Nilai dukungan probabilistik yang mendukung suatu topologi (bentuk percabangan) dalam suatu pohon filogenetik sangat penting untuk melihat apakah pohon silsilah yang dihasilkan itu bisa “dipercaya” atau tidak.

Pelbagai laporan menggunakan marker molekular berukuran pendek, maupun kajian ulang morfologis, menyatakan bahwa kerabat terdekat hewan bertulang-belakang adalah Cephalochordata, atau ikan lanset (mis. Winchell et al., 2000). Namun, sinyal filogenetik yang mendukung keutuhan kelompok ini sangat lemah, sehingga tidak dapat dipastikan, apakah kelompok ini benar-benar valid, atau ada topologi lain yang perlu dipertimbangkan. Sebenarnya, salah satu penyebab mengapa keutuhan kelompok Chordata dengan tiga anggotanya, yaitu Urochordata, Cephalochordata, dan Vertebrata tidak terdukung kuat secara probabilistik, disebabkan oleh keberadaan Urochordata, yang dikenal memiliki struktur morfologis dan fisiologis, gaya hidup, sifat-sifat dan karakter, dan bahkan struktur genom yang sangat unik, dan evolusi molekuler yang tergolong sangat cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar